Dinukil dan diselia dari
"Penampilan Kadang Seperti Fatamorgana"
Lim Hoo Lay, 13 Maret 2018
*
Saya pernah mengalami sendiri. Sore itu saya harus mendorong sepeda motor, sambil membawa cucu,karena ban bocor. Sebentar-sebentar saya hars berhenti. Kelelahan, maklum karena usia saya 72 tahun.
Tiba-tiba saya didatangi dua pemuda berboncengan di motor menawarkan jasa untuk membantu saya.
Saya bersikeras tidak mau karena keduanya itu tidak ada kriteria orang baik--dalam pandangan saya: dekil, pakaian nyentrik, apalagi yang satu itu bertato. Saya langsung curiga, ini anak muda zaman now, dan pasti terpengaruh budaya luar negeriyang rusak!
Meski saya tolak dan saya curigai, anak-anak muda itu tidak marah. Malah terus mengikuti saya. Karena saya betul-betul kepayahan, tak kuat lagi mendorong motor, saya pasrah pada Allah _subhanahu wa ta ala, akhirnya saya biarkan anak-anak bengal itu menuntun motor yang gembos. Cucu saya dinaikkan motor bersama anak muda yang satu lagi. Ya, pelan-pelan mengikuti saya.
Sebetulnya, ada sedikit rasa kagum saya pada kedua anak muda itu. Dalam perjalanan menuntun motor butut saya, salah satunya sempat bertanya "Pak, apa orang bertato itu boleh shalat?". Saya jawab agak ketus, "Boleh". Dia tanya lagi, "Katanya orang bertato wudhunya nggak sah..". Jawab saya "Nggak masalah itu. Punya niat mau shalat saja udah bagus apa lagi sampai kamu mau shalat!". Anak-anak muda itu berpandangan, terlihat gembira setelah mendengar jawaban saya.
*
Akhirnya, kami sampai di tempat tambal sepeda. Takdir Allah, sudah hampir tutup karena menjelang maghrib) dan ternyata ban motor saya tak bisa ditambal karena tambalannya sudah banyak. Tidak bisa tidak ban dalam harus diganti.
Kedua anak muda itu, anehnya, tidak juga mau pergi. Mereka tetap menunggui saya. Saya persilakan segera pergi secara halus, juga tak pergi-pergi.
Saya akhirnya omong kasar, "Mas jangan bikin saya takut, motor ini motor tua, kalau kamu rampas nggak ada gunanya!". Mereka diam saja dan tetap tidak pergi. Tampak bahwa tukang tambal sekarang tak dapat menyembunyikan kekhawatirannya.
Setelah selesai ganti ban, saya harus membayar 33 ribu. Lagi-lagi takdir. Qadarullah. Uang saya cuma selembar 20 ribuan. Tukang tambal ban bilang, "Nggak apa-apa, Pak besok kekurangannya. Besok Bapak ke sini".
Salah satu pemuda berwajah preman itu setengah acuh tak acuh mengeluarkan uang 50 ribuan menyerahkannya ke tukang tambal ban, "Pak ini kekurangannya, sisanya utk bapak krn kebaikan bapak menolong orang tua ini", sambil terus ngeloyor pergi.
Saya bingung! Tambah bingung lagi, tukang tambal malah menyerahkan kembali uang saya dan uang dari pemuda tadi sambil bilang "Ini, Pak ambil semua uangnya. Bannya nggak usah bayar. Itung-itung _nebus dosa sebab saya. Saya berprasangka buruk pada anak-anak tadi".
Ya Allah, saya cuma berpikir dalam hati alangkah buruknya hati saya. Sudah tua bukannya pasrah, malah berprasangka yang buruk.
*
Saya pikir, anak-anak itu sudah pergi. Mereka ternyata mencegat saya di tengah perjalanan pulang. Saya makin khawatir sebab hari menjelang gelap. Jangan-jangan, nasib saya kena begal ini! Apalagi mereka menanyakan alamat saya. Saya nggak jawab. Dia bilang, "Pak -Njenengan_ sudah sepuh, ini mulai gelap. Saya antar sampai rumah, ya?" Saya tidak jawab. Saya cuma berdoa semoga Allah subhanahu wata'ala melindungi saya.
Sampai depan rumah, saya dan cucu langsung masuk rumah. Lalu ambil wudhu, shalat maghrib yang hampir habis waktunya. Dan saya tidak menghiraukan anak-anak muda tadi. Apalagi mengucapkan terima kasih!
*
Ah, ternyata sampai sekarang anak-anak itu tak pernah menyatroni rumah saya. Dulu saya khawatir bahwa setelah tahu rumah saya jangan-jangan mereka berlaku buruk ke keluarga saya.
Ternyata sampai sekarang kami baik-baik saja. Ternyata anak-anak muda itu benar-benar berhati emas.
Tinggal saya yang menanggung dosa dan rasa bersalah yang berkepanjangan akibat prasangka saya yang membabi-buta. Rasa sesalnya sampai sekarang selalu menghantui saya.
EmoticonEmoticon