Detik demi detik direkam oleh arloji. Hitungan berputar melewati masa ke masa. Segala iringan angka tersebut dikayuh oleh sosok lelaki 68 tahun ini dengan tabah. Memancal pedal sepeda sore hari hingga subuh demi seseorang, adik perempuannya.
Lahir di Yogyakarta pada 29 Agustus 1949, lelaki beruban ini bernama lengkap Projo Herwanto. Tamatan SMP 6 Yogyakarta ini mengarungi kehidupan nokturnal selama 24 tahun. Kehidupan langit gelap ia lalui bersama sepedanya. Aktivitas sehari-harinya cukup unik dan dinikmatinya sebagai suatu keberkahan tersendiri.
Pak Projo, begitu panggilan sapaan di kampungnya, nukang reparasi jam. Menariknya, ia sama sekali tidak punya kios reparasi, “Wah, lha saya itu cuma mangkal pakai sepeda. Dulu pertama mangkal reparasi jam tahun 1992 di selatan Tugu.” Ilmu reparasi jam didapatnya secara otodidak. Bermula dari iseng-iseng, lalu berlanjut sebagai profesi hingga sekarang. Sebelumnya, Pak Projo pernah bekerja di penerbitan majalah Djaka Lodhang dan penerbitan Taman Siswa sampai akhirnya diberi pesangon karena peremajaan perusahaan.
Pendapatan harian Pak Projo semata-mata diupayakan dengan kucuran keringat demi adik perempuannya seorang. Pak Projo adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Adik perempuannya, bernama Ganjar Utami (51) merupakan anak bungsu dan mengalami sakit gangguan mental sejak tahun 2003. Sejak Ganjar kecil, Pak Projo telah momong adiknya, “Adik perempuan saya itu sakit syaraf. Tidak bisa diajak komunikasi. Pernah dibawa ke rumah sakit jiwa, tapi malah disuruh operasi otak. Lha malah mati, ta? Adik saya cuma mau dikasih makan sama saya sejak orang tua saya meninggal tahun 2003.” Adik perempuannya pun tidak cocok jika diberi makan oleh suami dan anak gadisnya.
Setiap hari Pak Projo memeras tulang pulang-pergi dari Saman Blok 1, RT 3, Bangunharjo, Sewon, Bantul, menuju area jantung Yogyakarta. Pola kegiatan Pak Projo terkesan antimainstream karena kehidupannya dimulai dari matahari mulai condong ke barat. Setiap sore pukul 15.00 WIB, Pak Projo berangkat ke rumah adik perempuannya di daerah Karangkajen untuk membelikan makanan untuk Ganjar. Setiap sebelum makan, Pak Projo membasuh kedua tangan Ganjar. Lalu, Pak Projo bersepeda dari Imogiri ke area Kotabaru.
Sejak 2010, aktivitas mangkal reparasi jam di selatan Tugu pun harus dipindah karena larangan pemerintah. Di kawasan Kotabaru, Pak Projo menggelar kain perlak sebagai alas alat-alat reparasi jamnya di depan Masjid Syuhada. Kemudian pukul 19.00 WIB, Pak Projo menyulap diri sebagai tukang parkir di warung nasi goreng area Tugu. Selanjutnya, pukul 22.00-01.00 WIB Pak Projo menggelar perlak kembali di emperan toko-toko untuk beristirahat. Sejenak melepas penat. Lalu pukul 01.30 WIB hingga subuh tiba, Pak Projo membuka reparasi arloji di kawasan Polsek Tegalrejo, Yogyakarta. Ketika matahari nampak terbit, Pak Projo pulang ke Bantul langsung menuju rumah Ganjar untuk membelikan sarapan untuknya. Seusai itu, Pak Projo pulang ke rumahnya untuk tidur dari jam 09.00-13.00 siang. Begitulah putaran kehidupan Pak Projo, lantas terulang lagi pukul 15.00 nanti. Jarak rumah Ganjar dan rumah Pak Projo membutuhkan waktu 30 menit menggunakan sepeda.
Berpuluh-puluh tahun lelaki berkacamata ini hidup sendiri. Ia pernah menikah dengan seorang janda asal Wonosari Yogyakarta, tapi kemudian berpisah. Istrinya ingin hidup sendiri bersama ketiga anaknya dan enggan tinggal di rumah Pak Projo di Bantul. Hingga sekarang, ia tidak pernah berkomunikasi dengan istri beserta anak-anaknya. Terbiasa hidup sendirian, berteman dengan kesepian, membuatnya hidup nrima.
Sebagai tukang reparasi arloji, dalam sehari ia mampu berpenghasilan sekitar 40 ribu sehari. Belum lagi jika musim penghujan seperti awal tahun, hanya tersedia 25 ribu satu hari. Pendapatan itu pun harus didistribusikan untuk kebutuhan konsumsi dirinya dan makan adik perempuannya. Ia tidak pernah menyimpan uang sekarang, “Udah tua, saya Cuma tinggal meninggal saja. Pokoknya selagi mampu, saya harus keluar rumah setiap hari demi beli nasi buat Adik. Ndak ada simpanan, harta nggak dibawa mati ta?” ujarnya.
Hambatan-hambatan telah ia alami di jalanan. Menurutnya, ramainya kendaraan bermotor seperti sekarang membuatnya takut menyeberang. Sampai-sampai ia harus sangu peluit berwarna hitam sebagai tanda ia menyeberang jalan. Sepedanya yang telah dimakan usia harus dituntun secara perlahan. Aktivitas hariannya ditemani mantel, selimut, sabun, dan seperangkat alat-alat reparasi arloji yang digantungkan di stang dan boncengan sepeda merk Tiongkok.
Beralas kaki sepatu karet bertali, Pak Projo melewati hari-hari. Celana kain panjang dan kemeja ia kenakan untuk bertemu dengan jodoh-jodoh rezeki yang ia cari. Ia mengaku malu jika mengenakan kaos, “Wah, malu saya pakai kaos. Tiap hari saya pakai kemeja tanpa disetrika, karena pertama kali beli sudah disetrika sama tokonya.” Rutinitas yang ia jalani sekarang hanya terpantul satu doa: semoga ia panjang umur. Tidak ada harapan muluk-muluk, karena ia pikir harapan hanya dimiliki oleh orang-orang pemilik uang. Sedangkan dirinya? Lebih baik bekerja dengan diam saja. Anteng. Cari uang buat makan, saja. Akan tiba waktunya, dia akan meninggal dengan tenang jika makanan adik perempuannya telah terurus oleh seseorang yang tepat.
*Wawancara langsung 6 Maret 2017
22.00-00.00
Emperan toko perempatan Pingit, Yogyakarta
Nur Fahmia
Info Menarik dari Sosmed
HIKMAH NASEHAT
Hidup sederhana: Lebih baik bekerja Dengan Diam Saja, Anteng
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
EmoticonEmoticon