The New Normal Era dan Ekonomi Syariah
Irfan Syauqi Beik, PhD
Adalah rahasia umum bahwa secara medis, tubuh yang sehat memiliki suhu pada kisaran 36-37 derajat celcius. Jika suhu tubuh melebihi kisaran tersebut, maka manusia akan mengalami situasi yang disebut dengan demam. Semua pakar kesehatan sepakat dengan hal tersebut.
Namun di suatu negeri antah berantah, terjadilah keanehan. Seluruh penduduk di negeri tersebut suhu tubuhnya tiba-tiba naik ke kisaran 38 derajat celcius secara bersamaan. Para dokter di negeri tersebut berupaya memberikan pertolongan dan pengobatan agar suhu tubuh mereka bisa kembali ke kisaran 36-37 derajat. Namun upaya tersebut tidak berhasil.
Setelah berupaya sekian lama, tanda-tanda suhu tubuh tersebut akan turun semakin tidak terlihat. Akhirnya karena frustasi, para dokter dan pakar kesehatan di negeri tersebut sepakat bahwa kondisi normal dan sehat yang baru adalah 38 derajat celcius. Mereka mengatakan inilah the new normal era, yaitu era dimana orang disebut sehat ketika suhunya 38 derajat. Terjadilah perubahan definisi suhu tubuh sehat dan normal. Akhirnya mereka hidup dengan kondisi seperti itu. Tentu saja risiko kematian yang dihadapi menjadi semakin besar.
Nah, analogi tersebut mirip dengan apa yang terjadi hari ini pada kondisi perekonomian global. Pasca krisis 2008 belum ada tanda-tanda resesi global ini akan berakhir. Yang ada justru prediksi perekonomian di 2017 masih belum menunjukkan titik terang. Sejumlah lembaga memprediksikan bahwa pertumbuhan di 2017 masih sangat lemah.
Bank Dunia memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia tahun depan masih berada di bawah 3 persen. IMF pun memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi global tahun depan ada di angka 3,4 persen. Khusus kawasan Eropa, IMF memprediksikan bahwa pertumbuhan ekonomi mereka turun dari 1,6 persen tahun ini menjadi 1,4 persen di 2017.
Selain itu, sejumlah negara pun mengalami tekanan yang luar biasa terhadap perekonomian domestik. Kondisi industri properti di Tiongkok, dimana banyak bermunculan kota-kota hantu akibat ketidakmampuan masyarakat untuk membeli harga properti yang melangit, berpotensi melemahkan ekonomi mereka. Adapun Indonesia, termasuk masih memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan negara lain, yaitu diproyeksikan tumbuh 5,2 persen tahun 2017. Namun masalah-masalah domestik seperti kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, masih menjadi masalah terbesar yang dihadapi bangsa ini.
Situasi perekonomian dunia yang semakin tidak menentu, membuat sejumlah kalangan kemudian mempopulerkan suatu istilah baru, yaitu the New normal economy. Bahwa ke depan, siklus krisis yang semakin cepat ini menjadi sesuatu yang “biasa” dihadapi. Inilah kondisi “normal” yang baru, dimana ketidakpastian ekonomi dan ancaman krisis berkepanjangan menjadi suatu pemandangan yang lumrah dan kita dipaksa hidup di bawah kondisi tersebut.
Tentu sebagai orang beriman, kita harus melihat fenomena ini bukan sekedar fenomena ketidakpastian ekonomi biasa. Namun lebih dari itu, ini adalah akibat dari berbagai pelanggaran terhadap larangan Allah SWT yang tertuang dalam ayat-ayat-Nya. Ketika Allah melarang riba, justru kita mempraktikkan ekonomi ribawi. Ketika Islam melarang maysir (spekulasi excessive), justru sistim keuangan kita memfasilitasi aktivitas investasi keuangan berbau maysir. Padahal, ancaman Allah terhadap pelaku dosa riba tidak main-main, yaitu sama dengan mengajak berperang Allah dan Rasul-Nya (QS 2 : 278-279).
Karena itu, dalam menyikapi kondisi tersebut, kacamata iman harus kita gunakan. Terlalu banyak penistaan yang kita lakukan terhadap ayat-ayat Alquran di bidang ekonomi. Begitu masuk ranah ekonomi, seolah perintah Allah dianggap angin lalu. Padahal masalah ekonomi ini termasuk yang akan kita pertanggungjawabkan di yaumil akhir kelak.
Untuk itu, ada 3 hal yang harus kita lakukan. Pertama, pada tataran individu, hendaknya komitmen untuk berekonomi syariah terus menerus kita tumbuhkan. Komitmen untuk mencari rezeki yang bebas riba, gharar dan maysir harus terus menerus diperkuat. Kalau ini dilakukan secara masif, maka akan menjadi kekuatan sosial yang luar biasa. Ekonomi syariah akan bangkit. Kedua, pada tataran kelembagaan, hendaknya peningkatan kualitas lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan syariah harus terus ditingkatkan. Kemampuan lembaga-lembaga tersebut dalam memfasilitasi pemenuhan kebutuhan masyarakat, harus ditingkatkan.
Ketiga, pada tataran negara, upaya melahirkan beragam regulasi yang mendukung pengembangan ekonomi syariah, harus terus dilakukan tanpa henti. Keberadaan KNKS (Komite Nasional Keuangan Syariah), yang diharapkan mulai beroperasi di 2017, mudah-mudahan bisa menjadi salah satu jalan penguatan sistim ekonomi dan keuangan syariah di negeri kita.
Terakhir, ada baiknya kita merenungkan hadits berikut ini. Rasulullah SAW bersabda : Tidak ada seorang pun yang banyak melakukan praktek riba kecuali akhir dari urusannya adalah hartanya menjadi sedikit [HR. Ibnu Majah]. Harta menjadi lebih sedikit akibat krisis berkepanjangan dan tiada henti. Wallaahu a’lam.
*Penulis adalah Dosen & Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB dan Direktur Pusat Kajian Strategis BAZNAS
http://m.republika.co.id/berita/koran/iqtishodia/16/11/24/oh4ws61-tsaqofi-the-new-normal-era-dan-ekonomi-syariah
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
EmoticonEmoticon