Mengapa Seorang Ayah Hanya Mencari Nafkah?
Sudah jadi fenomena umum di masyarakat kita di mana dalam keluarga, Ayah hanya sibuk mencari nafkah dan hanya istrinyalah yang mengasuh dan mendidik anak. Ada keluarga yang seperti itu karena memang meyakini begitulah pembagian perannya. Ada juga yang meyakini bahwa mendidik anak adalah tanggung jawab bersama, namun pikiran dan waktu sang Ayah terlalu tersedot ke urusan mencari nafkah sehingga tugasnya tidak tersentuh.
Di dalam Islam telah jelas ditegaskan bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab ayah sebagai pemimpin keluarga. Allah ta’ala berfirman dalam surat At-Tahrim ayat 6, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
Seorang tabi’in, Qatadah, ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Yakni, hendaklah engkau memerintahkan mereka untuk berbuat taat kepada Allah dan melarang mereka dari berbuat durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menerapkan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan dan bantulah mereka untuk menjalankannya. Apabila engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, maka peringatkan dan cegahlah mereka.” (Tafsir al-Quran al-’Azhim 4/502).
Selain firman Allah di atas, dalam sebuah hadits dari Ibnu radhiallahu ‘anhu, bahwa dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggunjawabannya dan demikian juga seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari: 2278).
Begitu juga nasehat seorang sahabat, Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, “Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.”(Tuhfah al Maudud hal. 123).
Sampai di sini sudah sangat jelas bahwa Allah memerintahkan dan Rasulullah SAW mencontohkan bahwa memimpin dan mendidik seluruh anggota keluarga, istri dan anak, adalah tugas seorang suami/ayah. Maka jika ada yang menganggap bahwa kewajiban seorang ayah adalah sebatas mencari nafkah dan mendidik anak adalah tugas istri, anggapan itu jelas keliru dan tidak berdasar.
Sadar Tugas tapi Tak Sempat Menunaikan
Namun yang lebih sering kita jumpai di keluarga muslim adalah para ayah yang sadar akan kewajibannya mendidik anak namun tak sempat menunaikan kewajiban tersebut karena waktu dan pikirannya begitu tersita mengurus pekerjaan dan sumber nafkah. Mengapa mereka terlalu sibuk bekerja dan karenanya pendidikan anak terabaikan?
Sebabnya adalah karena mereka terjebak dalam dua situasi yang keliru :
Pertama, merasa dituntut oleh keadaan dan khawatir akan kesejahteraan keluarga. Kedua, terlalu berambisi membangun karier dan meraih limpahan kekayaan.
Bagi yang merasa dituntut oleh keadaan dan khawatir akan kesejahteraan keluarganya, ada beberapa hal yang harus diperjelas kembali di pikiran kita, khususnya para Ayah :
1. Amanah terbesar kita setelah menikah adalah menjadi pemimpin keluarga.
2. Mencari nafkah hanyalah salah satu tugas kita dalam memimpin keluarga.
3. Pada hakikatnya Allah menjamin nafkah kita selama hidup akan tercukupi.
4. Bahwa setiap keluarga akan diuji dengan kekurangan harta, makanan, kesehatan, dll.
5. Tantangan mencari nafkah adalah dalam hal kualitasnya, bukan kuantitasnya.
Mencari nafkah tujuannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kalau rasa khawatir akan kekurangan nafkah membuat kita terlalu sibuk bekerja dan abai akan pendidikan anak, justru kita akan mendatangkan masalah yang jauh lebih besar daripada sekedar kekurangan harta. Mengkhawatirkan apa yang sudah dijamin oleh Allah sehingga mengabaikan apa yang Allah tetapkan sebagai tanggung jawab kita adalah kesalahan berganda.
Lalu bagaimana dengan mereka yang kurang memperhatikan keluarga karena merasa harus membangun kesuksesan hidup yang berupa karier yang tinggi dan harta yang melimpah?
Sadarilah bahwa yang dicari dari karier yang sukses, jabatan yang tinggi, dan harta yang banyak adalah kebanggaan dan kehormatan. Sesuatu yang memang sangat mendasar bagi laki-laki. Namun perlu kita pahami bahwa ternyata mencari kebanggaan dan kehormatan dari kesuksesan karier dan kelimpahan harta bukanlah fitrah laki-laki, bukan cara yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.
Perhatikanlah, di jaman Rasulullah SAW dan para sahabat, laki-laki muslim dewasa di masa itu tidak mencari kehormatan dari jenis pekerjaannya dan jumlah kekayaannya. Kehormatan seorang laki-laki muslim dewasa berasal dari kemampuannya menjalankan perintah Allah, kesungguhannya mendukung perjuangan Rasulullah SAW, kebaikan akhlaknya kepada sesama muslim dan sesama manusia, serta dari kemampuannya memelihara keluarga agar senantiasa dalam kebenaran.
Persepsi bahwa kehormatan seorang laki-laki dilihat dari jenis pekerjaannya, tinggi jabatannya, dan jumlah hartanya adalah persepsi yang baru muncul di akhir zaman dan bersumber dari masyarakat di luar islam. Memang sejak kita lahir persepsi itu sudah menjadi pemikiran mayoritas manusia sehingga persepsi itu begitu merasuk di pikiran kita. Namun jelaslah itu persepsi yang keliru.
Oleh karena itu, solusi dari prioritas kita yang keliru (mengutamakan pekerjaan dan karier sehingga mengabaikan pemeliharaan dan pendidikan istri serta anak) adalah meninggalkan persepsi itu dan kembali kepada cara pandang yang benar sebagaimana Rasulullah SAW contohkan di atas. Kehormatan kita berasal dari seberapa baik kita dalam menjalankan perintah Allah, kesungguhannya mendukung perjuangan Rasulullah SAW, kebaikan akhlaknya kepada sesama muslim dan sesama manusia, serta dari kemampuannya memelihara keluarga agar senantiasa dalam kebenaran.
Lalu apa yang bisa dibantu oleh seorang istri agar suaminya terlepas dari dua persepsi yang keliru di atas? Berikut beberapa saran yang bisa diupayakan :
1. Selalu bersyukur dengan apa yang Allah anugrahkan.
2. Pandailah mengelola harta yang ada agar senantiasa cukup untuk kehidupan sehari-hari.
3. Berhentilah memberikan tuntutan yang tidak perlu terkait harta dan kehormatan.
4. Selama halal, hormati suami apapun pekerjaannya dan berapapun nafkah yang diberikan.
5. Bantulah suami menghadapi tuntutan yang tidak perlu dari orang-orang disekitarnya. Baik itu dari keluarga besar, dari mertua (orangtua anda sendiri), dari anak, dan dari lingkungan sekitar.
Penutup
Kerja keras mencari nafkah jadi tidak bermakna jika kehidupan keluarga malah tidak terperhatikan, dan pendidikan anak-anak terabaikan hingga masanya mereka tidak lagi mau mendengarkan dan dididik oleh Ayahnya. Oleh karena itu, kita para ayah harus lebih memikirkan bagaimana pengasuhan dan pendidikan anak di keluarga daripada memikirkan pekerjaan. Pikirkanlah pekerjaan secukupnya saja. Agenda utama kita adalah mengayomi, menaungi, dan membina keluarga.
Tugas kita mendidik anak adalah tugas yang tidak bisa dialihkan. Seperti apapun sikap kita di tengah keluarga akan sangat mempengaruhi tumbuh kembang fisik, rasa, akal, dan ruhiyah anak. Anak-anak membutuhkan ayahnya menjadi contoh yang baik dalam beribadah dan berinteraksi di rumah. Anak membutuhkan ayahnya menjadi teman bermainnya, menjadi tempatnya bertanya, menjadi pelatih dan juga pelindungnya.
Dari bagaimana Ayahnya berinteraksi dengan lingkungan, anak mendapatkan persepsi yang benar akan dunia luar. Bagaimana ia bisa berinteraksi dengan baik dengan dunia luar, terbuka namun juga tetap punya identitas dan prinsip, semua itu adalah tugas pendidikan yang harus dipenuhi oleh seorang Ayah. Tugas Ayah dalam mendidik anak sangatlah banyak.
Sebagai penutup perenungan kita, mari perhatikan bagaimana Rasulllah SAW berpesan : Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Hakim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” (HR. Al Hakim: 7679).
Mari jernihkan lagi pemikiran kita, lalu luruskan kembali prioritas hidup kita.
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
EmoticonEmoticon