Cara Membentuk Keluarga Cinta Membaca

Membentuk Keluarga Cinta Membaca

Oleh : Solikhin Izzuddin
Relawan Literasi Perpustakaan Daerah Sragen

Umar bin Abdul Aziz berkata, “Seseorang yang beramal tanpa dasar ilmu akan lebih banyak menghasilkan kerusakan daripada kemaslahatan nya.” (Ibnul Jauzi, Sirah Umar bin Abdul Aziz wa  Manaqibuhu, hlm. 25)

Bermula Dari Keluarga
“Kebutuhan manusia terhadap ilmu pengetahuan itu lebih besar daripada makan dan minum. Karena orang membutuhkan makan dan minum sehari hanya sekali sampai tiga kali, tetapi kebutuhan terhadap ilmu sebanyak bilangan tarikan napasnya.” (Efisiensi Waktu, Jasim Badr Al Muthawwi’, h. 28)

Mungkin ini nasehat jadoel, namun bila kita renungkan, barangkali kita merasakan bahwa apapun tak ada artinya bila kita tak memiliki ilmu untuk melakukannya. Kenyataannya, kita lihat banyak keluarga yang lebih suka menjejali hidupnya dengan hiburan yang membosankan dengan alasan “agar tidak bosan” padahal ada acara yang benar-benar tidak membosankan yakni membaca. Bukan sekadar membaca memang, namun “membaca yang menghidupkan”. Membaca yang menginspirasi jiwa. Menggerakkan. Menggugah. Membawa perubahan yang luar biasa.  Dan itu dimulai dari keluarga. Abdurrahman Ibnu Taimiyah menceritakan tentang ayahnya, beliau mengatakan, “Dahulu, apabila kakekku masuk kakus, maka beliau berkata padaku, bacalah kitab ini dan keraskan suaramu agar aku mendengarnya.”

Bagaimana Menumbuhkan  Minat Baca ?
Air tidak jatuh dari tempat yang jauh. Kacang ora ninggal lanjaran, kata orang jawa. Children see children do, kata orang Inggris. You are what you think, you are what you believe, you are what you do Itu kata orang Inggris yang lain. Apa yang engkau pikirkan, yakini, dan kerjakan itulah dirimu. Kamaa tadiinu tudaanu, itu kata orang Arab. Sebagaimana engkau memperlakukan begitu pula engkau akan diperlakukan.

Kembali kepada kita, kalau kita hendak melakukan perubahan, kita mesti mengambil inspirasi yang menggerakkan diri sehingga bisa menggerakkan orang lain. Seperti Haji Omar Said Tjokroaminoto yang menggerakkan diri dan rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaannya dengan dua kata “Hijrah dan Iqro’”. Bagaimana dengan kita?

Imam Ghazaly berubah ketika diejek oleh para perampok yang merampok catatan ilmu yang dibawanya sembari melontarkan kata-kata pedas yang sungguh menggegerkan dirinya sehingga berubah. “Ilmu itu ada dalam hati bukan dalam kertas-kertas, al ‘ilmu fish shudhuur laa fis suthuur.”

Makjleb. Itu kalau anak muda sekarang. Nah, apa yang membuat anda makljeb itu? Apakah menunggu tua atau menanti kematian tiba? Mengapa tidak kita segera menemukan pemantik itu? Nah, paling tidak ada beberapa point mengapa kita harus membaca:
1. Pemasukan berbagai informasi membentuk kristalisasi pemikiran melalui membaca.
2. Kristalisasi pemikiran membentuk wawasan berfikir (tsaqofah)
3. Tsaqofah akan membentuk pola pikir (fikrah).
4. Pola pikir seseorang terbentuk dari wawasan berfikir yang mendominasi  serta kelengkapan data dan informasi yang dimiliki, mempengaruhi daya kritis dan daya analisa (istinbath)
5. Daya analisa yang akurat akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan (fatwa)
6. Keputusan hasil olah pikir inilah yang akan mempengaruhi sikap (amal)
Bagaimana perilaku kita dan anak-anak kita? Lihatlah dari apa yang dibacanya atau dilahapnya sehari-hari. Bagi anda yang telah memiliki berbagai perangkat yang memadai di dalam proses membaca secara efektif dan telah memahami urgensinya, bersyukurlah. Namun itu saja tidak cukup. Perlu ditumbuhkan minat baca yang baik agar dapat tetap terjamin kelangsungan proses belajar anda. Ada beberapa hal yang cukup penting diperhatikan guna menumbuhkan minat baca.

a. Konsentrasi Saat Membaca
Fokus, fokoke kudu sukses. Bila kita memiliki tujuan yang besar untuk kehidupan yang lebih besar, berharga dan bermakna, tentu kita akan berusaha konsentrasi saat membaca. Saat anda membaca, pusatkan perhatian anda pada buku tersebut. Jangan lupa persiapkan diri anda secara ruhiyah, fikriyah maupun jasadiyah berupa kebersihan agar lebih mampu berkonsentrasi.
Contoh pembelajaran adalah kisah “hadits Jibril”, hadits kedua dalam hadits Arba’in An Nawawi. Jibril datang kepada Rasulullah untuk mengajarkan tentang Islam, iman, ihsan dan tanda-tanda Kiamat. Jibril digambarkan sebagai seorang laki-laki yang bersih badannya, pakaiannya, rambutnya hitam pekat, pakaian putih bersih tidak tercermin seperti orang yang baru bepergian.
Kisah Jibril dalam hadits ini memiliki hikmah tarbawi yang sangat penting. Sebuah nilai pendidikan bagi seseorang yang hendak menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu. Etika Islam mengajarkan kesucian lahir dan batin dalam belajar. Mandi dan berwudhu membuat segar dalam badan dan fikiran sehingga lebih mudah untuk berkonsentrasi.
Selain itu dalam membaca penting juga untuk senantiasa diawali dan diakhiri dengan berdoa memohon bimbingan dan hidayah Allah. Sebagaimana do’a yang kita kenal, “Aku ridha dengan Allah sebagai Rabbku, Islam sebagai agamaku, Muhammad sebagai nabi dan Rasul. Wahai Rabbku, tambahkanlah untukku ilmu dan anugerahkanlah untukku kefahaman. Ya Allah kabulkanlah.”
Adapun teknis persiapan situasi dan kondisi membaca baik tempat duduk, ruang baca, pencahayaan, letak buku, alat tulis, kebersihan ruang dan kesiapan hati dan lain-lain, dapat dibaca pada bagian lain buku ini.

b. Penghafalan
“Tulislah yang paling baik dari apa yang engkau dengar. Hapalkanlah yang paling baik dari apa yang engkau tulis. Dan sampaikanlah yang paling baik dari apa yang engkau hapal.” Begitu nasihat Khalifah Al Makmun kepada anak-anaknya.
Hal-hal penting yang kita dapatkan dalam bacaan sebaiknya dicatat secara khusus dan dihafal sehingga ada nilai tambah dan penajaman kesan dalam kehidupan. Hafalan akan menambah dan menumbuhkan kekayaan tsaqafah (wawasan) yang akan terasa setelah beberapa waktu berlalu. Yaitu dalam menyampaikan akan lebih memberikan kesan yang mendalam.
Barangkali sangat menarik kita ingat kisah Imam Al Ghazali ketika dipecundangi para perampok yang merampas kitab-kitab bawaanya, sehingga beliau sadar bahwa tempat menyimpan ilmu yang hakiki adalah dalam dada yaitu hafalan. “Ilmu itu ada dalam hati bukan dalam kertas-kertas, al ‘ilmu fish shudhuur laa fis suthuur.”

c. Pengamalan secara nyata
Banyak orang yang bangga dengan apa yang dibacanya, namun tidak menyadari apa yang harus diambil dan dilakukan setelah membaca tersebut. Bangga dengan referensi namun tak melakukan aksi yang berarti. Njur ngopo?
Untuk menjaga ilmu dan hafalan harus dengan mengamalkannya. Yaitu melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang Allah. Hal ini akan mengokohkan dalam hati dan mengesankan dalam ucapan. Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah berkata, “Beramal adalah hasil dari benih ilmu maka apabila keduanya berkumpul akan menghasilkan kebahagiaan. Dan apabila berpisah satu dari yang lainnya tidak akan memberikan sesuatupun hasil.”
Imam Nawawi menceritakan tentang Imam Malik, bahwa beliau berkata, “Orang yang tidak menuntut ilmu, ia tidak akan pernah salah. Tapi amalannya salah semua.” Ibnu Taymiyah berkata, “Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tak berbuah.”
Ilmu akan berkesan dalam hati apabila telah menyatu dalam kepribadian, mewujud dalam akhlakul karimah. Apa yang disampaikan bukan sebatas buah bibir tetapi telah dipraktekkan menjadi teladan kehidupan.

d. Bertahap dan terus meningkat
Orang yang berhenti berusaha untuk menjadi lebih baik sesungguhnya dia sedang berhenti menjadi baik. Sebentar, kalau kita tidak meningkatkan diri sebenarnya kita sedang mengingkari nikmat ilahi bahwa kita sebenarnya punya kesempatan lebih baik, namun kita menyia-nyiakannya.

Di dalam membaca, memahami dan menghafal materi bacaan harus dilakukan secara bertahap, hal ini penting untuk memberikan penajaman kesan berupa interaksi hati dengan apa yang dibacanya baik berupa sirah , hadits, tafsir, fiqih maupun yang lainnya. Pentahapan ini adalah tuntutan dan tuntunan sunnatullah untuk mencapai kecemerlangan sebuah prestasi. Sebagaimana ulama salaf telah menempuh jalan ini.

Mulailah dengan membaca hal-hal yang ringan sehingga benar-benar tumbuh kecintaan untuk membaca. Bila telah tumbuh kecintaan, maka aktifitas seberat apapun akan terasa ringan. Karena cinta akan mengawal perubahan. Syiar kita, “Carilah apa yang kita cintai kemudian cintailah apa yang kita dapatkan. Do what you love, love what you do.”

e. Memotivasi diri dengan semangat ulama salaf
Sering-seringlah memotivasi diri dengan semangat baca ulama salaf. Seperti semangat Imam Bukhari untuk mencari sebuah hadits. Kesungguhan dan kehati-hatian beliau dalam meneliti dan menempatkan sebuah hadits dengan shalat dua rekaat.
Imam Syafi’i rahimahullah yang muda dalam usia namun syarat dengan karya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menghasilkan karya-karya besarnya walaupun beliau sedang dalam penjara.
Para ulama salaf sangat memiliki perhatian yang besar dalam masalah ilmu. Mereka amat gemar membaca sehingga kadang ada yang dianggap sangat keterlaluan. Tapi ada juga seorang isteri yang cemburu kepada buku. Isteri Imam Az Zuhri amat marah karena suaminya sangat mencintai buku. Ketika isteri Az Zuhri melihat suaminya sedang asyik membaca buku, ia berkata, “Demi Allah, buku-buku ini lebih berat bagiku daripada dimadu dengan tiga orang isteri.”

Baju Imam Abu Dawud, menurut kesaksian Ibnu Daasah, memiliki lengan yang longgar dan sempit. Ketika beliau ditanya tentan hal itu, beliau menjawab, “Lengan yang longgar untuk tempat kitab dan yang sempit itu tidak memiliki kegunaan.”

Abu Bakar Al Anbari sangat gemar membaca hingga jatuh sakit. Seorang tabib datang mengobati beliau, ketika sakitnya sudah teramat kritis. Kemudian tabib memeriksa air seninya, lalu berkata, “Tuan telah melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh siapa pun. Sebenarnya apa yang telah tuan lakukan?” Al Anbari menjawab, “Aku membaca setiap pekan sebanyak sepuluh ribu lembar.”

f.   Memilih waktu yang tepat
Dengan memahami adanya prime time tadi penting untuk dimanfaatkan dalam membaca secara efektif serta untuk banyak meningkatkan prestasi. Nah di sini masalahnya. Banyak prime time dalam kehidupan kita diambil oleh televise, media, internet, handphone atau kesibukan sia-sia lainnya. Pagi-pagi kita sudah makmum di depan televise. Saat makan sibuk melihat postingan di hape. Saat bersama keluarga masing-masing sibuk dengan grupnya. Saat bertamasya diam tak bicara dengan kanan kirinya karena sedang asyik bercengkerama dengan teman yang disana-sana.

Mari kita berubah. Kesuksesan berawal dari disiplin kehidupan. Seorang Fathia as-Syafiqah, anak SMP di Karawang bisa membuat buku “Breaking The Limit” yang isinya sekelas sarjana atau bahkan pasca sarjana karena memulai dengan menulis “One Day One Article”. Bagaimana dengan kita?
Menurut ulama salaf waktu yang terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur (sebelum fajar), untuk meneliti adalah waktu pagi, untuk menulis adalah tengah hari, dan untuk menelaah serta mengulang adalah di waktu malam.
Tempat yang terbaik untuk menghafalkan adalah kamar atau setiap tempat yang jauh dari keramaian dan kebisingan.

g. Penganekaragaman Bacaan
Di sinilah keluarga bicara, agar tidak mudah bosan, buatlah beraneka cara diantaranya melakukan hunting terhadap berbagai inspirasi yang kita butuhkan untuk mengembangkan peradaban dimulai dari keluarga kita.
Variasi bahan bacaan akan menumbuhkan gairah,  semangat, dan motivasi. Selain itu dapat untuk semakin menambah keluasan wawasan, misalnya di saat membaca buku-buku literatur diselingi dengan membaca buku-buku sirah, tazkiyatun nafs sehingga akan menyentuh jiwa.
Untuk banyak menggali informasi aktual, perlu membaca koran, majalah dll. Nasihat Yahya bin Khalid, “Hendaklah kamu membaca setiap cabang ilmu, karena seseorang itu adalah musuh bagi apa yang tidak ia ketahui dan saya tidak suka menjadi musuh, anti terhadap salah satu cabang ilmu” (Imam Al Mawardi).
Penganekaragaman bacaan dan variasi membaca sangat penting untuk merangsang semangat membaca. Selain itu juga akan membentuk daya intelektual yang kuat, mampu mengadakan penelitian, memahami dan menganalisis berbagai persoalan.

h. Berdoa kepada Allah
“Ya Allah, karuniakanlah kepada kami rezeki kepahaman para Nabi, penjagaan dan hafalan para Rasul dan ilham para malaikat al Muqorrobin.” (titipan doa untuk penulis dari seorang guru kehidupan, yakni ust. H. Mutammimul Ula’, S.H.)

Doa adalah inti sekaligus otaknya ibadah. Doa akan membantu mukmin memecahkan problematika kehidupan yang bersifat materi maupun non materi. Seperti soal ilmu dan lainnya. Pentingnya doa dalam membaca adalah agar senantiasa mendapatkan taufiq dan hidayah serta inayah Allah dengan apapun yang dibacanya serta mendapatkan ketetapan hati dalam istiqamah fiddin. Penting untuk mengawali dan mengakhiri kegiatan membaca dengan doa sehingga akan bernilai ibadah. Mari kita terus berdoa agar selalu menjadi yang terbaik dalam amal-amal kita.

“Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku di akhirnya, sebaik-baik amalku adalah pamungkasnya, dan sebaik-baik hari-hariku adalah pertemuanku dengan Engkau.”
Allahu A’lam bish shawab.
Previous
Next Post »