Hubungan Pemimpin dengan Rakyat

Kolom Refleksi Republika edisi Ahad 14 Agustus 2016

Hubungan Pemimpin dengan Rakyat
   
Oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin

Kurang lebih 3 hari lagi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke (termasuk warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri) akan memperingati hari ulang tahun ke-71 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sebagaimana kita tahu proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan bulan suci Ramadhan 1366 H, tercapai melalui liku-liku perjuangan yang panjang dan sangat berat. Kemerdekaan Indonesia direbut dan dipertahankan melalui perjuangan gerilya dan bersenjata serta perjuangan diplomasi baik di dalam maupun di luar negeri.

Dalam naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan keyakinan para pemimpin dan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan  tercapai atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Umat Islam dan para pemimpinnya memiliki peranan dan andil yang sangat besar dalam seluruh rangkaian etape perjuangan kemerdekaan nasional kita di masa lampau. Perjuangan dan pengorbanan umat Islam dalam merintis, mempertahankan dan membela kemerdekaan Republik Indonesia tidak boleh dilupakan. Oleh karena itu benar sekali ungkapan yang menyatakan bahwa jangan coba-coba dibangun mental seolah umat Islam tamu di negeri ini.  
Masa Revolusi Kemerdekaan dilukiskan oleh para pelaku perjuangan dan pemerhati sejarah sebagai periode terindah dimana hubungan antara pemimpin dengan rakyat terjalin begitu dekat dan penuh ketulusan. Kisah-kisah masa revolusi yang menceritakan hubungan psikologis dan tanpa jarak antara pemimpin dengan rakyat, seperti yang dilakukan oleh Soekarno, Hatta, Haji Agus Salim, Natsir, Jenderal Sudirman dan para pemimpin pejuang kita di masa itu, tentu bukan untuk sekedar dikagumi, tetapi perlu diteladani dan dihadirkan dalam konteks kekinian.

Salah satu kunci keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, selain modal persatuan dan kesatuan di antara seluruh potensi kekuatan bangsa, faktor penentu lainnya ialah hubungan dan kesetiaan pemimpin terhadap rakyat. Karakteristik hubungan pemimpin dengan rakyat di masa lalu memiliki landasan ruhaniyah yang kuat, diliputi perasaan senasib sepenanggungan, bukan semata-mata hubungan formal atau hubungan yang muncul karena kepentingan  pencitraan.

Dalam Islam, keterikatan hubungan pemimpin dengan rakyat merupakan sebuah keniscayaan. Hubungan antara pemimpin sebagai pihak yang diberi amanah dan rakyat sebagai pihak yang menitipkan amanah merupakan hubungan pertanggungjawaban dunia-akhirat. Seorang pemimpin yang telah diangkat atau dipilih bukan berarti bebas semaunya menjalankan tugas dan kewenangan dengan dalih telah mengemban mandat sebagai pemimpin pilihan rakyat. Rakyat berkewajiban mengawasi dan menegur pemimpin yang keliru dan sebaliknya pemimpin harus bersedia diawasi dan ditegur jika salah. Dalam agama tidak ada ajaran bahwa pemimpin seolah dewa yang tak pernah salah dan tak mungkin keliru.

Pemimpin pemerintahan adalah manusia dan rakyat biasa yang sedang diberi amanah dan tanggungjawab. Kesadaran sebagai pemimpin pilihan rakyat seharusnya mendorong seseorang bersikap amanah dan hati-hati dalam menjalankan tugas.          

Munculnya gejolak, konflik dan kebijakan yang tidak pada tempatnya sehingga menimbulkan ekses negatif di tengah masyarakat, salah satu penyebabnya adalah kepemimpinan yang “dekat tapi jauh” dari rakyat. Boleh jadi seorang pemimpin terlihat dekat dengan rakyat yang dipimpinnya, sering turun ke bawah, tapi dalam memutuskan suatu keputusan tidak menyelami perasaan dan aspirasi rakyat.

Kedekatan pemimpin dengan rakyat tidak cukup hanya kedekatan formal dan verbal, tetapi yang lebih penting adalah kedekatan emosional, kedekatan ide, cita-cita dan memahami sejujurnya apa yang menjadi harapan atau kegelisahan rakyat sampai ke lapisan akar rumput. Seorang pemimpin sejati, kata orang bijak, haruslah melihat dengan mata rakyat dan menghayati apa yang dialami rakyatnya.

Nabi Muhammad SAW merupakan contoh kepemimpinan paripurna yang perlu diteladani oleh setiap muslim. William Montgomery Watt, seorang guru besar yang mengajar di Universitas Edinburgh (Inggris) dalam bukunya Muhammad: Prophet and Statesman, menguraikan secara komprehensif, analisa sejarah hidup Nabi Muhammad SAW dalam kacamata kontemporer.

Menurut Montgomery Watt, ada tiga fondasi utama yang menjadi landasan kebesaran kenegarawanan Nabi Muhammad SAW dalam memimpin dan membawa umat Islam ke puncak kejayaan di masa lalu, yaitu:

Pertama, Nabi Muhammad SAW mempunyai bakat dan visi sebagai pengamat yang jeli dan bisa menerawang melihat berbagai permasalahan jauh ke depan.
Kedua, Nabi Muhammad SAW sebagai negarawan yang bersifat bijaksana dalam melaksanakan segala sikap kenegarawanannya.

Ketiga, Nabi Muhammad SAW memiliki seperangkat kecakapan dan strategi sebagai seorang  administrator dan mempunyai pengetahuan dalam memilih para pembantunya. Sudah tentu, bagi kaum muslimin, semua keunggulan Nabi Muhammad SAW tersebut di atas berdasarkan pada bimbingan dan wahyu dari Allah SWT.

Ketika Nabi Muhammad SAW meninggal dunia, negara yang telah ia bangun sudah mapan dan dapat bertahan serta bisa menanggulangi berbagai goncangan, dan kemudian negara itu dapat berkembang secara cepat. Seandainya bukan karena kecakapannya sebagai negarawan dan administrator, dan di balik semua ini, keimanan yang kuat kepada Allah SWT dan keyakinannya bahwa Dia yang telah mengutusnya, maka sebuah bab penting dalam lembaran perjalanan sejarah umat manusia tidak akan pernah ditulis.

Di era sekarang, memilih dan menentukan pemimpin pemerintahan merupakan salah satu proses yang lazim dalam demokrasi. Menjelang masa-masa pemilihan, para calon yang diunggulkan atau calon yang menyodorkan diri melakukan segala teknik dan upaya untuk meraih simpati dan diukungan rakyat.

Pengalaman berpolitik bagi umat Islam telah berulang kali mengajarkan bahwa seorang calon pemimpin tidak cukup hanya dinilai dari penampilan seketika yang serba diatur dan direkayasa seolah dialah pemimpin yang diharapkan, tetapi haruslah ditelusuri jejak rekam, akhlak pribadi dan sepak-terjang sebelumnya. Perhatikan bobot kualitas pemikiran, wawasan dan pemahaman seorang calon pemimpin terhadap permasalahan masyarakat dalam lingkup kecil, menengah atau besar yang nanti menjadi tanggungjawabnya.

Perhatikan hubungan yang dia jalin dengan rakyat, apakah hubungan yang tulus dan jujur dan tidak sekedar di saat perlu dan membutuhkan saja. Mengingat begitu berat dan kompleksnya permasalahan bangsa ini, maka di semua tingkatan kita membutuhkan pemimpin yang ahli kebaikan, tidak khianat dan bisa mempersatukan umat, bukan pemimpin yang menjadi penguasa yang zalim, kejam, tidak santun, bahkan tidak beradab. Sebab kebaikan dan keburukan pemimpin akan sangat berpengaruh terhadap rakyat yang dipimpinnya.

Wallahu a’lam bisshawab.
Previous
Next Post »