Doa

Doa

Saya tertegun. Di sebelah kanan lamat2 terdengar doa: “Allahuma ahsin ‘aaqibatanaa fil umuuri kullihaa wa ajirnaa min khizyid dun-yaa wa’adzaabil aakhirah”.

Saya lirik. Masya Allah, ternyata yang berdoa seorang pemuda. Sambil pejamkan mata, dia tegaskan doa: “Ya Allah, jadikan kebaikan sebagai akhir dari semua urusan kami. Selamatkan kami dari kehinaan dunia dan siksa akhirat.”

Jleeeb. Saya kena. Meski tanpa sadar, lidah saya lirih mengamini. Doa itu mustinya saya yang melafal. Sebab usia saya sudah Isya. Lewati usia senja. Cuma setarikan napas, game sudah. Di usia ini bisa Tahajud, bonus namanya. Tak Tahajud, Rhoma bilang: “Terlaluuuu”.

Sambil pura2 mendehem, kepala saya toleh ke kanan bawah. Wah keren. Ekor mata saya melihat hem yang dia kenakan putih bersih. Celananya blue jean. Saya lirik ke atas. Jenggot tipisnya rapih jali. Topi haji serasa pas di kepalanya yang panjul. Dari tubuhnya samar2 terhirup wewangian aroma kayu. Lelaki banget.

Jika saya wanita, belum selesai saya berfantasi, tiba2: “Elo keliatannya, iri yaaak”, sindir nafsu saya. Buyar saya, tergagap-gagap.

Jujur, saya kelelahan hadapi nafsu sendiri. Nafsu memang ada dalam diri tiap orang. Karenanya bisa menyeruak tiba-tiba tak tercegah. Untuk hilangkan nafsu, jelas mustahil. Nafsu cuma bisa ditaklukan. Ustadz bilang “mujahadatunnafsi”. Perangi hawa nafsu. Jika bisa sampai pada nafsu mutmainah, inilah dambaan tiap muslim: “Kembalilah hai  jiwa yang tenang”.

Di masjid, jamaah yang Jumatan sudah bubar. Termasuk pemuda di sebelah. Saya masih bersimpuh. Bukan karena hendak lengkapi dzikir apalagi lanjutkan baca Quran. Bukan. Cuma masih tafakur. Mengingat-ingat doa pemuda tadi. Sebagai pengangguran, ngapain buru-buru pulang ke rumah. Jangan2 malah persulit anak isteri. Dengan berlama-lama di masjid, semoga bisa tentramkan hati orang rumah.

Ini memang skenario. Tak ada sesuatu yang kebetulan. Allah SWT kirim pemuda itu di sebelah saya. Atau lebih tepatnya, saya ditempatkan di situ. Saya dijedotin agar bisa ngaca. Dalam ibadah jelas kalah jauh. Saya tak tahu sudahkah dia menikah. Karena memang saya tak tanya.

Meski sudah Isya, Tahajud saya bukan hanya bolong2. Malah lubang besar. Sumpah, lupa kapan terakhir Tahajud. “Apa yang elo cari, Bro”, gugat bathin saya. Lihat rambut mulai putih. Dalam gurauan kan sering elo dengar, rambut putih tanda kembali ke jalan yang benar. Tapi jawab: “Rambut hitam elo yang masih pekat, apa itu indikasi masih nyaman di dunia hitam?”

Coba simak lagi, lirih bathin saya. Kepala saya makin tertunduk. Pengurus masjid kira saya asyik berdzikir. “Kutipu kau!” Sergah nafsu saya lagi-lagi buyarkan tafakur. Nafsu yang sudah bersemayam di sepanjang usia ini, telah berhasil obrak abrik saya. Taklukin nafsu itu, hingga hari ini saya termehek-mehek. Jangan-jangan malah saya sudah jadi bulan-bulanan.

Renungi, lanjut bathin ini: “Pipi sudah peot. Kantung mata gayut menggayut. Beberapa gigi tanggal. Elo tersengal-sengal tahan napas supaya perut tampak masih langsing. Kalau jalan, elo gagah-gagahin. Padahal elo tau, bumi ini akan menelan orang yang berjalan sombong di atasnya”.

“Cuma soalnye. Kenape mata elo yang kanan masih “mata duitan? Eh mata elo yang kiri, juga kagak mau kalah. Malah jelalatan makin menjadi-jadi “mata keranjang”-nya. Buju buneeengggg! Nasu saya ngakaaakkkk dalam logat Betawi.

Saya jadi teringat Haji Allay. Hidupnya kini lebih banyak dikiprahkan keliling bantu atasi kesulitan orang lain. Pesannya terasa pas untuk saya: “Bukan gelar, jabatan, dan kekayaan yang menjadikan orang jadi mulia. Jika ahlak kita buruk, semua itu hanyalah topeng”.

Eghhhhh. Saya tersedak lagi. Bahkan Haji Allay lanjutkan pesan: “Jika kita belum bisa bagikan harta, maka berbuat baiklah”. Daleeem pesannya. Eeeh, yang bicara, Haji Allay. Saudagar besar Tanah Abang. Kaya raya. Dia keliling berdakwah. Berbuat kebajikan dengan bagi-bagi hartanya.

Sedang teman-teman bilang, sekadar senyum saja saya kikir. Apalagi harta. Saya makin malu. Saya masih merenung di Masjid Jami Bintaro. Lamat-lamat terdengar deru kereta api Tanah Abang melintas ke BSD.

Kereta ini sudah jalankan tugas dengan baik. Rel-nya malah sudah ratusan tahun tetap jadi penunjuk jalan. Kereta tak mengeluh bawa berapapun jumlah penumpang. Rel tak pernah berteriak kesakitan. Tetap bertahan di atas ribuan ton beban kereta. Semua penumpang diantar sampai tujuan.

Sedang saya? Apa yang saya bawa menghadap Allah SWT. Dikasih harta, nikmati sendiri. Dicoba sedikit, seolah hidup jadi yang paling menderita. Inikah orang-orang yang akan perkuat khairuh ummah?

Bathin saya berdoa: “Allahku, jadikan umur terbaik kami di penghujungnya. Jadikan amal terbaik kami di penutupnya. Jadikan hari-hari terbaik kami saat bertemu dengan-Mu”.

Sambil mengucap aamiin, hati saya berdesir. Betapa kelamnya masa silam kemarin. “Allahku, ampuni kami. Maafkanlah perbuatan buruk kami di masa lalu. Dan lindungi kami dari perkara yang masih tersangkut”. Aamiin... (Fb Erie sudewo)
Previous
Next Post »